ads

Selasa, 27 Februari 2018

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa





Untuk mengetahui efektiļ¬tas dan optimasi kinerja pemerintah desa  harus dilakukan evaluasi  terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa .Evaluasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah supradesa (Kecamatan dan Kabupaten) dan masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah desa harus memberikan ruang bagi partisipasi publik dalam memberikan masukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Kepala desa selaku penanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintah desa harus lebih terbuka saat mendapatkan    masyarakat.  Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajibannya, kepala desa wajib :

a)   Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir      tahun anggaran kepada bupati/walikota;
b)   Menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa pada akhir   masa jabatan kepada bupati/walikota;
c)   Menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan   secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun         anggaran.

Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa akhir tahun anggaran disampaikan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.

Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa akhir tahun anggaran paling sedikit memuat: a. Pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan desa; b. Pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan; c. Pelaksanaan pembinaan kemasyarakatan; dan d. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa akhir tahun anggaran digunakan sebagai bahan evaluasi oleh bupati/walikota untuk dasar pembinaan dan pengawasan. Selain itu, kepala desa wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa pada akhir masa jabatan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain. Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut disampaikan dalam jangka waktu 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan. Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa akhir masa jabatan paling sedikit memuat:

A.   Ringkasan laporan tahun-tahun sebelumnya;
B.   Rencana penyelenggaraan pemerintahan desa dalam jangka waktu untuk 5 (lima) bulan sisa masa jabatan;
C.   Hasil yang dicapai dan yang belum dicapai; dan d. Hal yang dianggap perlu perbaikan.

Kepala desa juga menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan desa setiap akhir tahun anggaran kepada Badan Permusyawaratan Desa secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. Laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan desa paling sedikit memuat pelaksanaan peraturan desa.

Laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan desa  digunakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dalam melaksanakan fungsi pengawasan kinerja kepala desa. Kepala desa menginformasikan secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat desa.

Masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa dan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan desa. Masyarakat juga bisa melakukan pemantauan dan pengawasan penyelenggaraan pembangunan desa. Masyarakat desa dapat melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan pembangunan desa kepada pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pembahasan laporan pelaksanaan pembangunan dan tanggapan laporannya dapat dibahas dalam forum Musyawarah Desa, dengan demikian masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam setiap pelaksanaan Musyawarah Desa.

Jangan sampai warga desa tidak peduli dengan kinerja pemerintahan desa. Masyarakat harus terlibat dalam melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ada di desanya baik secara langsung maupun dengan memanfaatkan ruang-ruang publik   yang ada. Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan penyelenggaraan pemerintahan desa diatur dalam peraturan menteri.


Diolah dari Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Tentang BPD Menurut Undang-Undang Desa

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut nama lain adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Badan permusyawaratan ini merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan berkedudukan sejajar serta menjadi mitra dari pemerintah desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, BPD memperkuat kebersamaan serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa dan/atau BPD memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah desa.

ilustrasi Gambar 
Sumber : freepik.com



BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membahas, dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Dalam UU No. 6/2014 tentang Desa, rumusan mengenai kedudukan BPD sudah mengambarkan fungsi representatifnya dengan menekankan makna Badan Permuswaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan Wakil dari Penduduk Desa berdasarkan keterwakilan Wakil dari Penduduk Desa berdasarkan keterwakilan Wilayah yang ditetapkan secara Demokratis . Sebagai perwujudan Demokrasi dalam Penyelengaraan Pemerintah Desa,BPD memiliki kedudukan penting dalam Sistim Perintahan Desa.

Kedudukan BPD

Sebagai mitra Kepala Desa, kedudukan BPD diperlukan untuk membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam membahas rancangan peraturan desa dengan Pemerintah Desa menurut UU No. 6/2014 , BPD mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Pemerintah Desa dapat duduk bersama dan mengadakan musyawarah dalam membuat kesepakatan tentang Peraturan Desa. Dalam UU No. 6/2014 pasal 55 menyebutkan Badan Permuswarakatan Desa mempunyai fungsi ayat (a) membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa.

Tujuan pembentukan BPD di setiap Desa adalah sebagai wahana/wadah untuk melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelengaraan Pemerintahan Desa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedudukanya sebagai mitra Pemerintah Desa, BPD memiliki posisi yang setara dengan Kepala Desa, yaitu sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Desa. Pada hakikatnya, BPD sebagai Kanal (Penyambung) aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes) dan peraturan Kepala Desa. Hal itu berarti BPD menjadi penyeimbang (Checks and balances) bagi Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa.

Mekanisme Pemilihan Anggota BPD

Model pemilihan/pembentukan Anggota BPD disesuaikan dengan kedudukan Desa. Sebagai penyelengara Pemerintahan Desa dan Pengambil Keputusan,maka Anggota BPD adalah wakil dari Penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara Musyawarah dan Mufakat. Cara pemilihan/penetapan anggota BPD dapat melalui pemilihan langsung, dipilih perwilayah kampung/dusun, atau dipilih secara musyawarah.
Hasil pemilihan/musyawarah dikirimkan ke Desa untuk keterwakilan Desa. Pemilihan/penetapan anggota BPD dipilih di Desa dengan pertimbangan – pertimbangan dan persetujuan hasil musyawarah . Jumlah anggota BPD di masa lalu ditetapkan dengan jumlah ganjil,paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (seblas) orang,dengan memperhatikan luas wilayah, keterwakilan perempuan minimal 30% dari jumlah anggota BPD, jumlah penduduk , dan kemampuan Keuangan Desa. Dalam UU No. 6/2014 diatur bahwa jumlah Anggota Badan Permusawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah Gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (Sembilan) orang,dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk dan Kemampuan Keuangan Desa.

Ketentuan yang terakhir iniah yang sekarang menjadi acuan dalam penyusunan Keanggotaan BPD. Lebih Jelas dan lengkapnya pembentkan Aggota BPD dapat kita lihat dalam pasal 56 UU No. 6/2014 yang menyebutkan : (1) Anggota Badan Permusawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisianya dilakukan secara Demokratis. (2) Masa keanggotaan Badan Permusawarakatan Desa selama 6 (enam) Tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. (3) Anggota Badan Permusawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut.

Anggota dan Jumlah Keanggotaan BPD

Keanggotaan BPD adalah wakil dari penduduk/warga desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD berperan sebagai wakil masyarakat yang dapat terdiri dari Ketua Rukun Warga, Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemuka Agama, Tokoh Perempuan, kelompok kelembagaan local atau pemuka masyarakat lainya. Dalam UU No. 6/2014 diatur bahwa anggota Badan Permuswaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisianya dilakukan secara demoratis. Proposional jumlah anggota BPD sangat dianjurkan sesuai dengan keterwakilan kelompok–kelompok atau pusat-pusat (basis) kekuasaan di Desa, misalnya keterwakilan tokoh–tokoh agama/adat, perempuan, kelompok tani/nelayan, maupun kelompok–kelompok lokal.

Adapun Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah dapat mengatur lebih lanjut mengenai BPD yang substansina mencakup :

a)   Persyaratan untuk menjadi anggota sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat setempat;
b)   Mekanisme musyawarah dan mufakat penetapan anggota;
c)   Pengesahan penetapan anggota;
d)   Fungsi dan Wewenang;
e)   Hak, Kewajiban dan larangan;
f)    Pemberhentian dan masa Keanggotaan;
g)   Penggantian anggota dan pimpinan;
h)   Tata cara pengucapan sumpah/janji;
i)     Pengaturan tata tertib dan mekanisme kerja;
j)    Tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
k)   Hubungan kerja dengan kepala Desa dan lembaga Kemasyarakatan; dan
l)     Keuangan dan administratif.


Masa Jabatan BPD dan Hak serta Kewajiban Anggota BPD

Masa Jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3(tiga) kali berturut – turut atau tidak berturut – turut . masa keanggotaan BPD selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. Pimpinan BPD terdiri dari atas 1 (satu) orang sekretaris. Ketentuan terebut termasuk dalam UU No. 6/2014 tentang Desa . Persayaratan calon anggota Badan Permusawaratan desa dalam UU No. 6/2014 Menyebutkan :

1)   Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2)   Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang – undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika
3)   Berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah pernah menikah
4)   Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat
5)   Bukan sebagai perangkat Pemerintah desa
6)   Bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusawaratan desa; dan
7)   Wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis.

Rapat pemilihan Pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh Anggota Tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus. Peresmian pengangkatan anggota BPD ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota, yang sebelum memangku jabatanya mengucapkan sumpah/janji secara bersama – sama dihadapan masyarakat yang dipandu oleh Bupati/Walikota. Anggota BPD Mempunyai Hak :

1)   Mengajukan rancangan peraturan desa
2)   Mengajukan Pertanyaan
3)   Menyampaikaa usul dan pendapat
4)   Memilih dan dipilih; dan
5)   Memperoleh tunjangan/penghasilan
Anggota BPD dilarang:
A.   Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa , dan mendiskriminasikan warga atau golongan Masyarakat Desa
B.   Melakukan Korupsi,Kolusi Dan Nepotisme,Menerima Uang,barang, dan /atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukanya Menyalahgunakan wewenang
C.   Melanggar sumpah/janji jabatan
D.   Merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa
E.   Merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia , Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota,dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan
F.    Sebagai pelaksana Proyek Desa
G.   Menjadi pengurus Partai Politik; dan/atau
H.   Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.

Anggota BPD mempunyai kewajiban:

a.    Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,melaksanakan Undang – undang Dasar Republik Indoesia Tahun 1945,serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bihneka Tunggal Ika
b.    Melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa
c.    Menyerap,menampung,menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat desa
d.   Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi,kelompok,dan/atau golongan
e.    Menghormati Nilai Sosial budaya dan adat istiadat Masyarakat Desa; dan
f.     Menjaga Norma dan etika dalam hubungan kerja dengan Lembaga Kemasyarakatn Desa.

Selain kewajiban seperti tertuang dalam Pasal 63 UU No. 6/2014, BPD berkwajiban mempertanggungjawabkan Anggaran Operasional dan Tunjanganya yang bersumber dari APB Desa .Dalam hal ini Kepala Desa berhak meminta pertanggungjawaban keuangan BPD dan lembaga – lembaga kemasyarkatan lainya seperti Karang Taruna, LPM,dan PKK sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan Pemerintahan Desa ( Lihat Kotak 7 ) Untuk pemenuhan Administrasi,BPD wajib memenuhi Administrasi Permusawaratan Desa yang mencakup Kegiatan Pencatatan Data dan Informasi mengenai BPD, yang Ketentuannya diatur dalam Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang BPD.


Simak Video Grafis Tentang BPD dibawah ini :





Diolah dari berbagai sumber
Daftar Referensi :
1.   Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
2.   Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang BPD
3.   Dan dari sumber laiinya.

Senin, 26 Februari 2018

Mendes PDTT Pastikan BUMDes Berpayung Hukum

INFODES - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan, desa tidak perlu khawatir dengan status Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di mata hukum. Ia memastikan, BUMDes memiliki payung hukum jelas untuk membentuk unit-unit usaha.
Status hukum badan usaha milik desa
Hal tersebut disampaikan usai melakukan pertemuan dengan Ketua Mahkamah Agung di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (23/2). 

Tak hanya membentuk unit usaha, menurutnya, BUMDes juga bisa bekerjasama dengan koperasi, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bahkan perusahaan swasta dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).

"Kami telah berkonsultasi untuk kejelasan status hukum BUMDes. Tadi ada Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung, beliau mengatakan bahwa status BUMDes jelas. Jadi BUMDes bisa mempunyai unit usaha yang dalam bentuk badan hukum, bisa membentuk koperasi, bisa bekerjasama juga dengan unit usaha swasta dalam bentuk PT," ujarnya. 

Baca: Memahami Hukum Pendirian BUMDes

Dalam waktu dekat, lanjutnya, informasi tersebut akan segera disosialisasikan kepada BUMDes di seluruh desa untuk menjawab kegelisahan pengurus BUMDes. Ia mengakui, beberapa BUMDes selama ini memiliki kesulitan membentuk unit usaha karena dianggap tidak berbadan hukum.

"Sekarang sudah ada kejelasan. Dan yang paling penting, dalam anggaran dasarnya, BUMDes tidak hanya semata-mata usaha untuk mencari keuntungan, tapi juga untuk memberdayakan dan kemakmuran masyarakat desa setempat," ujarnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Taufik Madjid mengatakan, BUMDes tetap menjadi instrumen penting bagi desa di samping unit usaha lain dan koperasi. Menurutnya, aktifitas BUMDes yang dapat membentuk unit-unit usaha tertuang jelas secara hukum, sejalan dengan Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang desa. 

Baca: Hukum Baru Pendirian BUMDes

"BUMDes ini adalah usaha dimana masyarakat desa adalah pemiliknya," ujarnya.

Ia mengakui, adanya perspektif yang berbeda di kalangan masyarakat terkait payung hukum sempat menghambat aktivitas BUMDes. Meski tidak diatur secara langsung dalam Perundang-undangan, Taufik memastikan bahwa BUMDes memiliki landasan hukum yang jelas.

"Meski tidak diatur langsung dalam perundang-undangan, namun pasal-pasal di bawahnya bisa menjelaskan detil. Bahwa BUMDes bisa membentuk unit-unit usaha berbadan hukum sejalan dengan Undang-Undang Desa,"terangnya seperti dilansir dari situs kemendesa, PDTT(*).

Kamis, 22 Februari 2018

Strategi Kementerian Desa Cegah Penyelewengan Dana Desa

INFODES - Komisi Informasi Pusat (KIP) bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) tengah menyusun modul Program Inovasi Desa. 

Mewujudkan desa yang transparan dibutuhkan keterbukaan informasi

Modul tersebut berguna untuk mewujudkan desa yang transparan, termasuk dalam hal penggunaan dana desa.

Dilansir dari liputan6.com, Kepala Bidang Advokasi, Sosialisaai dan Edukasi KIP Wafa Patria Umma mengatakan, untuk mewujudkan desa yang transparan dibutuhkan keterbukaan informasi. Hal ini guna mencegah penyalahgunaan wewenang dalam mengambil kebijakan maupun pengelolaan keuangan.

Baca: Masih Bingung Seputar Dana Desa, Temukan Jawabannya Disini!

"Karena masyarakat berhak mendapatkan informasi publik yang sudah dijamin dalam Pasal 28F UUD dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)," ujar dia di Jakarta, Rabu (21/2/2018).

Menurut dia, dengan menjalankan UU KIP maka akan ada ruang bagi partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pengambilan kebijakan dan keputusan, baik di pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu, dalam Pasal 68 UU Desa juga menyatakan jika masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi Kegiatan penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa.

"Ke depan kita berharap dengan adanya desa transparan akan mendorong keterbukaan Informasi di Level Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional," ungkap dia.

Konsultan Nasional Program Inovasi Desa Kemendes PDTT, Lendy Wahyu Wibowo menyatakan, nantinya akan ada tujuh modul dalam program inovasi desa ini. Modul ini ditargetkan dapat selesai pada akhir April 2018 dan mulai disosialisaaikan pada Mei, Juni dan Juli 2018.

"Jadi kalau sudah selesai semua modulnya, kami akan sosialisasikan ke seluruh pendamping desa yang ada di seluruh Indonesia," kata dia.

Sementara itu, Komisioner KIP Bidang Regulasi dan Kebijakan Publik Menurut Hendra J Kede m‎engatakan, keberadaan modul Program Inovasi Desa sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Baca: Program Inovasi Desa untuk Memperkuat Desa Berdaulat
Lantaran Hak atas informasi merupakan Hak Azazi dan Hak Konstitusional seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian maka kewajiban seluruh badan publik untuk memfasilitasi kedua hak masyarakat tersebut.

"Kedua hak masyarakat tersebut mengharuskan seluruh badan publik di negeri ini dikelola dengan prinsip-prinsip transparansi, termasuk pengelolaan pemerintahan desa dan transparansi sejatinya adalah untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia," kata Hendra.(*)

Rabu, 21 Februari 2018

Mendes Eko: Kita Memiliki Tugas Mulia Mengangkat Kehidupan Masyarakat Miskin

INFODES - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memiliki tugas mulia yakni mengangkat kehidupan masyarakat miskin terutama warga yang berada di pelosok desa, daerah tertinggal dan perbatasan agar lebih sejahtera. 
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memiliki tugas mulia yakni mengangkat kehidupan masyarakat miskin terutama warga yang berada di pelosok desa, daerah tertinggal dan perbatasan agar lebih sejahtera.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Eko Putro Sandjojo dalam acara Ministerial Lecture atau kuliah umum di aula Kantor Kemendes PDTT, Jakarta, Rabu (21/2).

Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan ini untuk meningkatkan profesionalitas seluruh pejabat eselon I, II, III, dan IV dilingkungan Kementerian Desa, PDTT dalam menjalankan amanah negara.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan, masih banyak warga desa yang hidup di bawah kondisi kelayakan seperti kekurangan air bersih, jauh dari sekolah bahkan jauh dari rumah sakit.

“Mereka adalah saudara kita juga, warga Negara Indonesia yang besar. Yang telah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi Nomor 15 dunia,” tegasnya.

Menurutnya, untuk mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan tak hanya untuk memberikan pemerataan kesejahteraan, namun juga untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang keutuhan tersebut hanya bisa dijaga oleh warga negaranya sendiri.

“Karena kalau ketimpangan tidak bisa dikurangi, kemiskinan tidak bisa dikurangi, cita-cita Indonesia untuk menjadi negara maju itu mungkin tidak akan tercapai,” ujarnya.

Menurut Mendes Eko, untuk mengemban tugas tersebut, diperlukan profesionalitas, komitmen, dan keikhlasan seluruh pemegang amanah. Ia berharap kegiatan ministerial lecture tersebut dapat membantu seluruh pejabat kementerian untuk bersama-sama menjalankan tugas pemerintahan. 

Ia juga mengingatkan kepada seluruh pejabat kementerian dan jajaranya mampu bekerja dengan baik dan cepat. 

“Kalau kita lelet saja, itu sudah memperpanjang kesengsaraan,” tegasnya.

Kegiatan ministerial lecture tersebut mengangkat tema "menuju birokrasi berkelas dunia untuk meningkatkan daya saing bangsa". Hadir sebagai narasumber Gurus Besar FISIP UI, Eko Prasojo yang juga merupakan ahli di bidang kebijakan publik sebagai pembicara.

Empat Perspektif Terhadap Keberadaan Desa




Terdapat empat cara pandang terhadap keberadaan desa, sebagimana dipaparkan di bawah ini:

Perspektif 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau “mandor” yang meenjalankan tugas-tugas  administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan administratif. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah.  

Perspektif 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat.

Perspektif  3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self governing community). Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik yang memuja komunitas (masyarakat adat), sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua, aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki pemerintah desa yang kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi perwakilan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Masyarakat, termasuk individu anggota masyarakat, menjadi titik central perhatian cara pandang ini. Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu.  

Perspektif 4: memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan komunitas, pemukiman penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas  seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil” sengaja kami beri “tanda petik” karena kami posisikan sebagai sebuah metafora yang bisa memudahkan pemahaman.

Diolah dari Modul Pelatihan Pendamping Desa
Oleh : Asep Jazuli ( Pendamping Lokal Desa ) di Kabupaten Sumedang***


FUNGSI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA TERHADAP PELAKSANAAN PENGGUNAAN DANA DESA DAN ALOKASI DANA DESA


Pemerintah Kabupaten/Kota harus melaksanakan fungsi pembinaan, monitoring, pengawasan dan evaluasi terhadap penggunaan Dana Desa sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pemanfaatannya. Terkait hal tersebut Pemerintah Kabupaten/Kota harus menyediakan pendampingan dan fasilitasi, melalui pembentukan satuan kerja khusus pembinaan implementasi Undang-undang Desa yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.   Tugas dan fungsi satuan kerja khusus pemerintah kabupaten/kota yaitu:

1.   melakukan tugas utama mensosialisasikan kebijakan dan regulasi pusat dan daerah (kabupaten/kota), pembinaan serta pengendalian implementasi Undang-undang Desa secara umum;
2.   melakukan tugas pembinaan dan pengawasan terkait penyaluran dan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa; dan
3.   memfasilitasi penanganan pengaduan dan masalah terkait pengelolaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.  

Dalam rangka pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan, Bupati menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan penggunaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa dapat melimpahkan tugas kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berwenang. Hasil pemantauan dan evaluasi dilakukan penilaian oleh SKPD yang berwenang dan disampaikan kepada Bupati dan Menteri melalui sistem pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Pembiayaan pendampingan, fasilitasi dan pembinaan, serta pengelolaan Satuan Kerja khusus kabupaten/kota dilakukan sesuai mekanisme penganggaran di daerah dan bersumber dari APBD Kabupaten/Kota. Pembentukan satuan kerja khusus dapat ditiadakan, jika kabupaten/kota yang bersangkutan telah memiliki SKPD dengan tugas dan fungsi pembinaan serta fasilitasi kebijakan dan regulasi desa. 


Mekanisme Penetapan Kewenangan Desa


Karena sumber kewenangan desa ini adalah rekognisi dan subsidiaritas maka penetapannya harus berdasarkan pada proses-proses yang berasal dari desa. Ketentuan pada pasal 20 UU Desa secara jelas dan tegas memberikan mandat desa untuk mengatur dan mengurus kewenangan desa. Artinya, desa mengatur melalui Peraturan Desa dan mengurusnya melalui organisasi pemerintahan desa maupun lembaga kemasyarakatan desa.  Jika pun akhirnya pemerintah menentukan proses pengakuan negara atas kewenangan desa ini melalui Peraturan Bupati, Pasal 37 PP No 43/2014, maka proses penetapan Perbup ini pun harus didahului melalui proses identifikasi dan inventarisasi kewenangan yang dilakukan oleh desa. Jadi Perbup adalah instrumen hukum untuk mengakui kehendak desa dalam menyatakan kekuasaan dan tanggung jawabnya mengatur dan mengurus desa.

Proses pengakuan di tingkat kabupaten melalui Perbup tentang Daftar Kewenangan Desa dipandang penting sebagai jaminan hukum di tingkat kabupaten tentang apa saja kewenangan desa dan apa saja kewenangan kabupaten. Sehingga upaya untuk membangun desa dan desa membangun bisa berlangsung secara sinkron, tidak tumpang tindih dan berjalan efektif efisien. Di sisi lain, desa pun harus menindaklanjuti Perbup Kewenangan Desa ini dengan cara membentuk Perdes tentang Kewenangan Desa. Pertanyaannya sekarang adalah Sejauh Manakah, atau Sudahkah Pemeritah Daerah Kabupaten/Kota membuat/menetapkan Perbup tentang Daftar Kewenangan Desa?

Pihak-pihak yang terlibat dalam Penetapan Kewenangan Desa
Ada dua tahap atau tingkatan dalam rangka menetapkan kewenangan desa ini. Tahap atau tingkatan di desa dan di kabupaten. Pada saat kabupaten hendak menetapkan Perbup kewenangan desa maka pihak utama yang harus dilibatkan adalah desa. Pihak desa dapat diwakili oleh kepala desa, BPD, dan perwakilan masyarakat desa. Jika tidak memungkinkan tiga pihak ini dilibatkan pada tingkat kabupaten, maka BPD menjadi pihak yang diprioritaskan, karena dalam dirinya pada dasarnya suara dan kepentingan masyarakat desa bersemayam. Kabupaten dalam proses menetapkan kewenangan desa ini bukan membagi, melimpahkan atau menyerahkan ke desa. Tetapi kabupaten hanya memfasilitasi ditemukannya daftar kewenangan desa berdasarkan asal usul dan lokal berskala desa di kabupaten tersebut. Ujung fasilitasi ini nanti Bupati mengakui kesepakatan atas daftar kewenangan desa melalui Peraturan Bupati.

Sementara itu, pada saat desa berproses menemukan, menginventarisasi dan memilih kewenangan desa berdasarkan asal usul dan lokal berskala desa, seharusnya semua elemen di desa dilibatkan. Elemen sipil desa berbasis sektoral dan kewilayahan harus dilibatkan pada proses inventarisasi dan identifikasi kewenangan desa. Mereka pun harus dilibatkan pula ketika persiapan menyelenggarakan Musdes untuk menetapkan kewenangan desa. Pada saat Musdes pun mereka harus dilibatkan agar memberikan masukan, kontrol dan pengawasan atas daftar kewenangan desa yang akhirnya dipilih dan ditetapkan.

Diolah dari buku Kewenangan dan Perencanaan Desa
Oleh : Asep Jazuli ( Pendamping Lokal Desa ) di Kabupaten Sumedang***


Belajar Ngaji Kewenangan Desa


Berbicara tentang  kewenangan desa, berarti berbicara tentang Inti atau Ruh Undang – undang Desa,  Mandat UU No 6/2014 tentang Desa (UU Desa) adalah mengakui dan menghormati kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan lokal berskala desa. Asas rekognisi ( Pengakuan ) dan subsidiaritas                        
( Penghormatan ) inilah yang kini menjadi spirit dalam mendudukkan desa untuk berwenang menyelenggarakan pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan kewenangan ini pula diyakini akan menjadi penyangga bagi kemandirian desa (desa mandiri), yaitu desa yang berkuasa da bertanggung jawab penuh atas aset-aset yang dimilikinya untuk memenuhi hak-hak dasar dan penghidupan desa secara berkelanjutan.
Memahami Definisi Kewenagan Desa
Sebelum mengerti kewenangan desa lebih baik kita mengerti dahulu apa yang dimaksud dengan kewenangan. Kewenangan adalah hak  untuk melakukan sesuatu melalui kekuasaan dan tanggungjawab yang dilindungi oleh keabsahan hukum/peraturan yang kuat. Dalam konteks desa maka dapat dipahami bahwa kewenangan desa diartikan sebagai kekuasaan dan tanggungjawab desa sebagai entitas hukum untuk mengatur dan mengurus desa. Istilah mengatur merujuk pada tindakan menetapkan norma hukum di desa tersebut. Sedangkan istilah mengurus merupakan tindakan tanggungjawab desa memperhatikan, melindungi dan melayani kepentingan masyarakat desa.

Mengapa Harus ada Kewenangan Desa ?

Ketentuan Pasal 5 UU Desa dengan tegas mengakui bahwa kedudukan desa bukan menjadi subordinat kabupaten, melainkan berada di wilayah kabupaten. Atas dasar kedudukan seperti ini maka desa masa lalu pasti sudah memiliki kekuasaan yang absah untuk melakukan tindakan-tindakan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa. Masa kini dan masa depan desa pun masih memiliki kehendak untuk memikirkan kepentingan masyarakat desa. Karena itu negara melalui UU Desa ini mengakui dan menghormati bahwa desa memiliki kewenangan desa. Kewenangan desa ini bukan pelimpahan dari pemerintahan supradesa, tetapi rekognisi (PENGAKUAN)dan subsidiaritas (PENGHORMATAN)dari negara. Hal ini karena Desa – desa di Indonesia sudah lahir, tumbuh dan berkembang jauh sebelum Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Alasan harus ada kewenangan desa karena dua hal, yaitu; 1) mandat UU Desa, 2) mandat asas rekognisi dan subsidiaritas.

Pertama, mandat UU Desa. Kewenangan desa secara jelas sudah diatur dalam UU Desa dan peraturan teknis turunannya, yaitu; a) PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa ( Pasal 33-39) jo PP No No 47/2015 tentang Perubahan PP No 43/2014 (Pasal 34. 39), b) Permendesa No 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016.

Rute tempuh yang dipilih pemerintah melalui PP 43/2014 (Pasal 37) dan Permendesa 1/2015 (pasal 16 – 22) menghendaki proses penetapan kewenangan desa berdasarkan asal usul dan lokal berskala desa melalui pembentukan Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Desa (Perdes). Artinya, pengaturan tentang kewenangan desa belum cukup jika hanya mendasarkan pada regulasi di tingkat pusat. Mandat UU Desa tentang kewenangan desa akan berjalan baik ketika Bupati menetapkan Perbup tentang Daftar Kewenangan Desa dan Desa membentuk Perdes tentang Kewenangan Desa. Sudah pasti bahwa Perdes dibentuk desa setelah ada Perbup. Karena itu seharusnya prioritas utama yang ditempuh adalah membentuk Perbup terlebih dahulu, baru Perdes kemudian. Hirarki regulasi tentang kewenangan desa yang konsisten dan harmonis dari tingkat pusat sampai desa, akan memberikan kepastian dan kejelasan hukum bagi desa untuk mengatur dan mengurus urusan desa. Pertanyaan nya sekarang adalah Sejauh Manakah, atau Sudahkah Pemeritah Daerah Kabupaten/Kota membuat/menetapkan Perbup tentang Daftar Kewenangan Desa?

Kedua, mandat asas rekognisi dan subsidiaritas. Dalam konsepsi kewenangan yang sejauh ini dikenal, diketahui adanya dua sumber kewenangan, yaitu :
a.    Sumber atribusi. Sumber atribusi berupa pemberian kewenangan kepada badan, lembaga atau pejabat negara tertentu untuk membentuk undang-undang dasar, undangundang atau peraturan perundangan-undangan lainnya. Kewenangan yang bersumber dari atribusi ini sering dikenal sebagai kewenangan atributif, yaitu kewenangan yang melekat pada badan/lembaga/pejabat negara tertentu.

b.    Sumber pelimpahan. Kewenangan  yang asal-muasalnya bersumber dari pelimpahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; 1) mandat. Pelimpahan kewenangan kepada seorang pejabat tata usaha negara dari pejabat di atasnya, namun tanggung jawab tetap berada pada si peberi mandat. Contohnya adalah Kepala Desa menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan Sekretaris Desa sebagai Ketua Tim Inventarisasi Kewenangan Desa. 2) delegasi. Pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga/pejabat tata usaha negara yang diikuti konskuensi berupa pengalihan tanggung jawab dari yang melimpahkan beralih ke yang menerima kewenangan. Contoh yang mudah untuk kewenangan delegatif ini adalah pelimpahan kewenangan Bupati kepada Camat untuk mengevaluasi Rancangan Peraturan Desa.

Dari dua sumber kewenangan seperti diuraikan di atas, masuk kategori dimana kewenangan desa? Paradigma berpikir yang digunakan oleh UU Desa melampaui pengertian sumber kewenangan sebagaimana dijelaskan di atas. Artinya, kewenangan desa bersumber bukan dari atribusi maupun pelimpahan. Lantas bersumber dari mana kewenangan desa? Sumber kewenangan desa berasal dari rekognisi dan subsidiaritas. Asas rekognisi digunakan untuk mengakui desa yang tetap mewarisi pengaturan dan pengurusan kepentingan desa dan masyarakat sampai saat ini, maupun mengakui prakarsa masyarakat desa dalam merespon perkembangan kehidupan. Sedangkan asas subsidiaritas digunakan untuk menghormati desa yang selama ini telah dan/atau mampu menjalankan urusan-urusan desa maupun prakarsa desa/masyarakat desa secara efektif.

Apa saja Kewenangan Desa itu ?

Sebagai suatu entitas hukum eksistensi desa pasti ditentukan oleh kewenangan yang dimilikinya. Berpijak pada uraian sebelumnya, maka kewenangan desa yang dimiliki saat ini berdasarkan Pasal 18 UU Desa meliputi: 1. Kewenangan di bidang bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa 2. Pelaksanaan Pembangunan Desa 3. Pembinaan kemasyarakatan Desa 4. Pemberdayaan masyarakat Desa Keempat kewenangan desa tersebut diakui negara berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Karena itu di dalam menjalankan keempat bidang kewenangan tadi, Dalam Pasal 19 dan 103 Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi: 

1)   Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundangundangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
2)   Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
3)   Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota;
4)   Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  

Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul paling sedikit terdiri atas:
1)   Sistem organisasi masyarakat desa;
2)   Pembinaan kelembagaan masyarakat;
3)   Pembinaan tanah kas Desa; dan
4)   Pengembangan peran masyarakat desa.

Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri atas:
1)   Pengelolaan tambatan perahu;
2)   Pengelolaan pasar desa;
3)   Pengelolaan tempat pemandian umum;
4)   Pengelolaan jaringan irigasi;
5)   Pengelolaan lingkungan pemukiman masyarakat desa;
6)   Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
7)   Pengembangan dan pembiayaan sanggar seni dan belajar;
8)   Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan;
9)   Pengelolaan embung desa;
10)               Pengelolaan air minum berskala desa; dan 
11)               Pembuatan jalan desa antar pemukiman ke wilayah pertanian.
Berdasarkan dua sifat kewenangan desa, bersifat asal usul dan lokal berskala desa, maka desa berhak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang menjadi kewenangannya.

Dengan demikian menjadi jelas dan tegas sekarang ini, bahwa desa memiliki kuasa dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus hal-hal tertentu yang menjadi kepentingan masyarakat desa. Momentum ini bisa dipahami sebagai kesempatan untuk mengelola desa dari, oleh dan untuk masyarakat desa sendiri ( Desa Nu Urang, Keur Urang, Kudu Ku Urang Balarea ) Kewenangan desa inilah yang menjadi sumber kekuatan untuk mencapai visi desa yang secara umum telah tercantum dalam Visi undang-undang desa Desa yg Maju, Kuat, Mandiri, Demokratis“.

Selain kewenangan di atas, menteri dapat mentapkan jenis kewenagan desa lain sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal. Penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa akan berimplikasi sebagai berikut:

A.   Kewenangan memutuskan ada pada tingkat desa, sehingga terjadi: 1)  pergeseran kewenangan dari pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintahan Desa, 2) peningkatan volume perumusan peraturan perundang-undangan di desa berupa Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa;
B.   Adanya pembiayaan yang diberikan Kabupaten/Kota kepada Desa dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga terjadi: 1) pergeseran anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos pemerintahan desa, dan 2) adanya program pembangunan yang bisa mengatasi kebutuhan masyarakat Desa dalam skala desa;
C.   Adanya prakarsa dan inisiatif pemerintahan desa dalam mengembangkan aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayahnya sesuai ruang lingkup kewenangan yang diserahkan.
D.   Adanya prakarsa dan kewenangan memutuskan oleh Pemerintah Desa sesuai kebutuhan masyarakat Desa, sehingga keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan, dan Masyarakat Desa) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawsan pembangunan semakin lebih maksimal;

Bila semua kebutuhan lokal dapat teratasi oleh Pemerintah Desa diharapkan akan semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan program pemerintah.
                                  
Diolah dari berbagai sumber
Oleh : Asep Jazuli ( Pendamping Lokal Desa ) di Kabupaten Sumedang***

Daftar Referensi :
1. Permendesa Nomor 1 Tahun 2015 Tentang kewenangan desa berdasarkan asal usul dan lokal berskala desa.
2.   Permendagri Nomor Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa
3.   Buku Kewenangan dan Perencanaan Desa.
4.   Modul Pratugas Pelatihan Pendamping Desa.


INFORMASI

Musrenbang RKPD 2020: Ini Daftar 9 Prioritas Pembangunan Jawa Barat

BANDUNG, BAPPEDA JABAR –  Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rancangan ...