Oleh: Aris Kurniawan, M Sn.
Sistematika pola tiga dalam budaya Sunda berawal dari ketentuan alam atau ajaran Sunda Wiwitanatau Sunda permulaan (Sunda sejati atau Sunda asli). Ajaran Sunda Wiwitan merupakan adab Sunda atau Atikan Sunda yang menjadi pola pikir atau pandangan hidup manusia Sunda. Sunda Wiwitan merupakan konsep ajaran mengenai kehidupan yang didalamnya tidak ada batas ruang dan waktu (dalam bahasa Sunda ; Niskala). Niskala berasal dari kata:
v Nis bermakna tidak atau tanpa
v Kala bermakna waktu
v Alamnya disebut Nirwana
Dalam jati diri manusia, kedudukan niskala adalah "Hirup". Kata "Hirup" menerangkan Buana Nyungcung atau Sunda Wiwitan. Kemudian berlanjut pada tahap berikutnya yaitu Buana Larangdisebut dengan istilah Sunda Sawawa, berisi ajaran Salaka yang sudah berada dalam ruang dan waktu. Isi ajaran Salaka ini disebut dengan istilah "Rasa" atau "Wujud" yang berda dalam tubuh manusia.
Tahap yang ketiga yaitu Sunda Sembada atau "kejadian" yang disebut
dengan "Alam". Alam dalam keilmuan Sunda disebut juga dengan istilah "Kuring" atau "Kurung", yang bermakna "kurungna rasa" atau Buana Panca Tengah.
Perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga alam atau buana, yaitu:
1. Buana Nyungcung, adalah alam segala asal atau alam awang-uwung (alam padang), merupakan kedudukan tertinggi dalam sistematika alam.
2. Buana Panca Tengah, adalah alam rahim, yang merupakan alam perantara yang memproses waruga manusia, yaitu masuknya jagat wayang-wayangan.
3. Buana Larang, adalah alam makhluk atau alam pawenangan.
Dari sistematika tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam kehidupan menjadi Tri Tangtu atau tiga ketentuan, yaitu:
A. Tri Tangtu di Salira atau tata salira (jati diri), berisi ketentuan kehidupan pribadi dan keluarga sebagai mikrokosmos dari negara sebagai jati diri bangsa.
B. Tri Tangtu di Balarea atau tata nagara (jati nagara) berisi ketentuan kehidupan atau hubungan bermasyarakat dalam negara.
C. Tri Tangtu di Buana atau tata buana (jati kusumah) berisi ketentuan kehidupan beragama dalamnegara.
Tri Tangtu ini pun , kemudian menurunkan tiga butir nilai, yaitu :
Adil Palamarta
(Ratu), menciptakan rasa keadilan untuk semua pihak atau adil ka diri adil ka balarea, untuk kepentingan : pribadi, balarea , sarerea dalam nagara.
Bener (Resi), Benar menurut keyakinan diri, kelompok dan semua pihak, untuk kepentingan pribadi, balarea , sarerea dalam nagara.
Daulat (Rama), Berdaulat atau Merdeka lahir batin , “teu sirik pidik jail kaniaya, teu sudi ngajajah teu sudi dijajah” , untuk yaitu untuk kepentingan semua pihak pribadi, balarea,sarerea dalam negara.
Kemudian Tritangtu di Salira dan Tri Tangtu di Balarea pada implementasinya di bagi menjadi tiga, yaitu:
v Batur Sakasur atau keluarga
v Batur Sadapur atau masyarakat atau kelompok
v Batur Salembur atau seluruh komponen negara
Sementara Tri Tangtu di Buana diimplementasikan dalam sistem pemerintahan negara, menjadi:
v Rama merupakan pemegang kekuasaan tertinggi secara wilayah teritorial, ajaran, kerakyatan dan hukum nagara Kartagama.
v Resi merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam ajaran dan hukum nagara Kartagama.
v Ratu merupakan pemegang kekuasaan tertinggi secara wilayah pemerintahan teritorial nagara Kartagama.
Konsepsi kujang yang diterapkan dalam wayang sebagai perwujudan atau manifestasi dari perilaku manusia sempurna. Kata wayang berasal dari Wa dan Hyang. Wa bermakna wujud atau rasa (jiwa) dan Hyang bermakna nilai keilahian.
Kujang sebagai perwujudan dari perilaku atau menjalani kehidupan (ngalaku) menjadi falsafah hidup orang Sunda, yaitu "Hirup darma wawayangan bae". Wawayangan merupakan kata kerja, yang bermakna aktifitas keilmuan atau kehidupan yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
Darma bermakna derma atau bakti (amal-memberikan kebajikan).
Bae bermakna hanya
Hirup darma wawayangan bae secara keseluruhan bermakna kehidupan hanya untuk melakukan ibadah atau berbuat kebajikan, banyak dari penganutnya yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai agama, sehingga cukup bukti bahwa apa yang sering disebut sebagai falsafah Timur adalah kepercayaan religius atau agama (Bagus Takwin, 2001).
Sunda Wiwitan bermakna Sa-Asal, yaitu proses perjalanan manusia dari tidak ada berproses di dalam alam asal melalui perantaraan bapak dan ibu. Sunda Sembada bermakna Satunggal, yaitu proses melalui bapak dan ibu menyatu dengan bumi berada di dalam alam rahim atau dalam kasi sayang sang ibu. Sunda Sawawa bermakna Sabakal atau alam, yaitu zat yang diambil untuk kelangsungan raga atau jasad.
Kujang dan martabat alam tujuh menerangkan :
v Martabat awal menerangkan kejadian nilai ilahiah dalam diri yang disebut dengan kasih sayang ibu.
v Martabat cahaya atau alam langit bermakna alam ada tapi tiada berupa sir dan rasa ibu
v Dibuatnya alam semesta atau wujud.
v Dibuatnya isi langit dan bumi atau alam semesta dan dibuatnya seluruh anggota tubuh atau Raksadan Pangraksa. Raksa bermakna segala sesuatu yang bersifat batiniah. Pangraksa bermakna segala sesuatu yang bersifat lahiriah termasuk panca indra.
v Diturunkannya utusan Tuhan bermakna diturunkannya seluruh potensi dan bakat (kudrat-irodat-alam).
v Diturunkannya rezeki berupa isi alam semesta, seperti; mata dengan pengelihatannya, telinga dengan pendengarannya, hidung dengan penciumannya, mulut dengan ucapnya, hidung dengan penciumannya, tangan dengan geraknya, kaki dengan langkahnya dan sebagainya
v Diturunkannya manusia bermakna wujud atau rasa yang berisi amal, ilmu dan akhlak.
II. Pancaniti atau Lima Titian Ilmu
Dalam perjalanan kehidupan yang sesungguhnya, manusia mengalami dan menemukan kembali 5 tahapan kehidupanya, baik pengertian maupun pengalaman, yang selalu dijadikan simbol ajaran kesempurnaan. Dalam keilmuan Sunda Besar alam atau Tata Buwana di bagi menjadi lima tahapan, yaitu:
1) Buana Larang atau Alam Lahir atau Jagat Semesta.
2) Buana Panca Tengah atau Alam Kehidupan atau Jiwa (Rasa).
3) Buana Nyungcung atau Alam Ruh atau Hirup.
4) Buana Kahyangan atau Alam akal budi atau Rasa (buana Parhyangan-Ilmu, Amal, Akhlak)
5) Buana Agung adalah sebuah istilah untuk memaknai Yang Maha Mutlak atau disebut juga Pancer.
Hal ini ditemukan dalam kebudayaan Sunda lama yaitu: “Papat kalima Pancer”, dalam tata nagara yang menunjuk pada:
1) Jawa Dwipa
2) Waruna Dwipa
3) Swarna Dwipa
4) Simhala Dwipa
5) Parahyangan sebagai Pancer
Dalam ajaran ilmu fisik dan metafisik atau sering juga disebut “ Kajawen” atau "tata salira", sering ditemukan istilah:
1) Hadi atau cahaya bersifat abstrak atau tidak terlihat
2) Wadi atau hawa bersifat abstrak atau tidak terlihat
3) Madi atau rasa bersifat abstrak atau tidak terlihat
4) Mani atau wujud, bersifat nyata atau konkrit (terlihat)
5) Maningkem atau Kang Adi tali ari-ari sebagai Pancer
Pada jaman pemerintahan Taruma Hyang yaitu periode Pangeran Wisnugopa dan Galuh Kandiawati Dewi Mayang Sunda. Medang ada dalam kedudukan “Perwalian” atau Kawali dari Sunda di Jawa Dwipa. Hal ini membentuk sandi dalam tata nagara:
Medang yang berkedudukan di gunung Manglayang, dengan raja pertama Dewata Cengkaratau Jalu Kandiawan atau Suryawarman.
Medang Jati sebagai penerus Medang, yang berkedudukan di Gunung Galuh, dengan raja pertama Ajar Sukaresi atau Permana di Kusumah. Medang Kamulan yang berkedudukan diKadiri, dengan raja pertama Rakeyan Warok atau Prabu Kuda Lalean.
Medang Kahyangan yang berkedudukan di Kendan Hyang, dengan raja pertama Maharaja Garung.
Sumedang Larang yang berkedudukan di Gunung Lingga, dengan tokoh sentral Rd. Wijaya danMaharaja Purahita atau Hyang Bunisora.
Setelah periode pemerintahan Maharaja Purahita atau Hyang Bunisora sebagai implementasi dari Sunda-Medang, maka sandi kenegaraan berganti menjadi dinasti Medang-Galuh, dimana Galuh berkedudukan menjadi Sundayana. Periode ini dimulai semenjak masa pemerintahan Prabu Lingga Buana (ayah dari Wastukancana). Istilah sandi nagara yang sebelumnya Sunda-Medang atauSumedang Larang, menjadi Medang Galuh atau Manggala.
Maharaja Wastukancana sebagai pendiri ajaran ka-Siliwangi-an dianugerahi gelar Para Hyang Galuhatau Poronggol, dan para penerus dari ajaran ini di anugerahi gelar Ra–Hyang Galuh atau Rangga. Hal ini juga dapat ditemukan dalam sistem ketata-Nagara-an purba di Jawa Dwipa, yaitu Banjar Pataruman (Patroman) dan Banjarsari Mataruman yang lebih dikenal dengan jaman Mataram Kuno. Istilah untuk wilayah karatuan tersebut adalah:
A. Sri Bima
B. Punta
C. Narayana
D. Madura atau Madukara
E. Suradipati sebagai Pancer
F. Pada jaman Taruma Nagara Desa istilah untuk Karatuan dan Karesian adalah:
G. Sang Kucika atau Pangeran Nandi Swara
H. Sang Garga atau Pangeran Garga
I. Sang Manistri atau Putri Maistri
J. Sang Puruca atau Pangeran Puruca
K. Sang Patanjala atau Pangeran Puntajala
Pada jaman Pajajaran Nagara istilah untuk teritorial Karatuan dan Kamaharajaan di Jawa Dwipa adalah :
A. Mandala Kasungka yang berada di Hujung Galuh
B. Mandala Seba yang berada di Galuh
C. Mandala Jati yang berada di Jeng Galuh atau Jenggala
D. Mandala Samar yang berada di Saung Galuh atau Saung Galah
E. Mandala Wangi atau Munding sebagai Pancer
Pada masa pemerintahan Wastukancana atau Sunan Rumenggong (Rama Hyang Agung), Nagara Karta Rahayu berfungsi sebagai pusat ajaran “ Ka-Siliwangi-an“, dimana kedudukan Galuh sudah menjadi Sundayana, artinya Medang sebagai leluhurnya telah menjadi Sunda. Hal ini membentuk sandi nagara “Manggala” yang berasal dari kata Medang Galuh (Ma Hyang Galuh–Mayang Galuh). Sistem ka-Manggala-an tersebut adalah:
1) Hasta Manggala
2) Nata Manggala.
3) Sura Manggala.
4) Yuda Manggala
5) Manunggaling, yang berkedudukan di Para Hyang Galuh atau Poronggol yang menjadi Pancer. Pada jaman para Rangga atau Para Hyang Galuh (Ra–Hyang Galuh) sandi nagara atau tata nagara menjadi:
a) Niti Harti dengan tokoh sentral Rangga Bungsu
b) Niti Surti dengan tokoh sentral Rangga Megatsari
c) Niti Bukti dengan tokoh sentral Rangga Gading (Gede Hyang)
d) Niti bakti dengan tokoh sentral Rangga Gede
Sajati atau Pancer dengan tokoh sentral Rangga Wulung (asal kata dari Gumulung) sebagai wujud implementasi dari Pancaniti atau Lima Titian Ilmu, yaitu:
a) Niti Harti :
Niti harti merupakan bentuk ajaran secara ritual, estetika, kesenian, etika dan sebagainya. Niti Harti merupakan tahap tahap pembelajaran pertama, yaitu mengerti. Contoh: Pagelaran Wayang Golek secara Niti Harti merupakan bentuk etika, estetika dan kesenian.
b) Niti Surti:
Niti Surti adalah sebuah bentuk kajian pemaknaan ke arah filsafat menghasilkan hakekat dari aktifitas ritual. Niti Harti merupakan tahap pembelajaran kedua, yaitu menghayati, dan memaknai. Contoh: Pagelaran Wayang Golek secara Niti Surti: Pertunjukan wayang tersebut bukan sekedar tontonan tapi merupakan bentuk tuntunan, ajaran, falsafah, dan tatanan negara. Dimana di dalamnya terdapat sistematika ka-Mandala-an.
c) Niti Bakti:
Niti Bakti adalah sebuah bentuk aplikasi atau pengejawantahan di dalam kehidupan masyarakat atau balarea dalam tatanan negara mengenai hakekat dari aktifitas ritual. Niti Bakti merupakan tahap pembelajaran ketiga, yaitu membaktikan atau memgaplikasikan (dalam bahasa Sunda ngalaku elmu). Contoh: Pagelaran Wayang Golek secara Niti Bakti, merupakan bentuk wujud yang harus diteladani dan menjadi contoh untuk masyarakat (sarerea dan balarea).
d) Niti Bukti:
Niti Bukti adalah sebuah bentuk penyatuan antara ajaran dalam kehidupan sehari-hari atau dalam bahasa Sunda Gumulungna tekad,ucap jeung lampah. Niti Bukti merupakan tahap pembelajaran keempat, yaitu membuktikan secara ilmiah. Contoh: Pagelaran Wayang Golek secara Niti Bukti merupakan bentuk penyatuan tatanan teritorial nagara, seperti: Kahyangan, Parahyang, Gunungan,Wayang, Sang Hyang, Batara Guru dan banyak lagi yang lainnya.
e) Niti Jadi Sajati atau Niti Sajati:
Niti Jadi Sajati merupakan bentuk integrasi dari empat tahapan diatas menghasilkan disiplin ilmu yang baru. Niti Sajati merupakan tahap pembelajaran kelima, yaitu menemukan kebenaran yang tidak terbantahkan atau kebenaran hakiki. Contoh: Pagelaran Wayang Golek secara Niti Jadi Sajati merupakan bentuk integrasi ke-4 tahapan sebelumnya, yang menghasilkan keilmuan yang baru, seperti terciptanya kitab Carita Parahyangan, naskah Siksa Kandang Karesian, kitab Amanat Galunggung, kitab Pararaton, kitab Sastra Jendra Hayunigrat dan sebagainya.
Siloka atau metafor ajaran “Papat Kalima Pancer“ ini pun diwujudkan dalam bentuk metafor ke dalam sistematika pusaka atau pakarang, dimana fungsi Ka-Nagara-an dan Ka-Mandala-an atau Tata Nagara, Ka-Manggala-an atau Tata Salira, kedudukan Buwana atau Tata Buwana menjadi sebuah sistem, yaitu:
1) Jenis tumbak atau pendok
2) Jenis cengkrong dan balati
3) Jenis bedog (gobang) dan pedang
4) Jenis keris
5) Kujang sebagai pancer
Aris Kurniawan, 2012
diambil dari LEMBAGA ADAT KARATON PADJADJARAN
Sumber : Fanspage Facebook MAJELIS AGUNG PARA GURU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar